Berdasarkan P.22/Menhut-II/2012 wisata alam didefinisikan kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan hutan lindung. Salah satu wisata alam yang sedang ramai di Yogyakarta adalah wisata watu payung. Nama watu payung diambil dari sebuah batu besar yang berbentuk seperti payung di lokasi tersebut. Menurut cerita warga setempat, watu (batu) tersebut digunakan untuk bertapa seorang pertapa yang asih. Wisata alam watu payung berada di hutan negara yang dikelola oleh kelompok HKm yang bernama HKm Sidomulyo III. Kelompok HKm terbentuk dengan skema perijinan pemanfaatan hutan negara. Menurut P.88/Menhut-II/2014 HKm (Hutan Kemasyarakatan) didefinisikan sebagai hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Dalam wadah HKm masyarakat diberikan wewenang untuk mengelola hutan ijin sesuai dengan peraturan yang berlaku. HKm Sidomulyo III sendiri berada di kawasan hutan KPH Yogyakarta. Penetapan HKm Sidomulyo III tertuang pada perijinan 225/KPTS/2007 tanggal 12 Desember Tahun 2007. Luas garapan mencakup 17,4 Ha dengan status kawasan hutan lindung jenis tanaman jati. Kawasan hutan HKm Sidomulyo III berada di petak 108 RPH Bibal BDH Panggang KPH Yogyakarta. Sedangkan untuk wilayah administratif berada di Dusun Turunan Desa Girisuko Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul.
Inisiasi pembangunan wisata alam watu payung tergerak dari suksesnya wisata alam Mangunan yang terletak di kawasan Hutan RPH Mangunan BDH Kulonprogo Bantul KPH Yogyakarta. HKm Sidomulyo III mengajukan untuk mengelola watu payung menjadi wisata alam yang mana memiliki lanskap alam yang sangat potensial dikembangkan. Balai KPH Yogyakarta sebagai pengawas HKm melakukan pendampingi, pengarahkan dan memfasilitasi berjalannya pengembangan watu payung. Pembangunan wisata watu payung harus melewati proses yang disesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Luas kawasan hutan yang boleh dimanfaatkan sebagai wisata alam hanya 10% dari luas HKm. Sehingga dari 17,4 Ha luas HKm hanya 1,7 Ha yang boleh dimanfaatkan untuk wisata. Sarana dan prasarana penunjang wisata juga dibatasi hanya boleh 10% dari luas yang boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu, luas sarpras yang boleh dibangun maksimal hanya 0,17 Ha. Penyediaan sarpras tentu saja tidak dipebolehkan menggunakan material permanen melainkan material alami (P.22/Menhut-II/2012).
Lanskap alam yang ada di wisata watu payung sangatlah elok. Pengunjung dapat menikmati keindahan lekukan bukit, tatanan tebing, dan alur sungai oyo. Panorama watu payung juga menawarkan indahnya sunrise dan sunset yang tidak patut untuk dilewatkan. Saat menyambut fajar, hamparan tebing dan bukit ditutupi oleh kabut sehingga kita dapat merasakan negeri diatas awan. Untuk menambah kesan seni alam yang kuat, watu payung dilengkapi dengan beberapa enviroment art. Enviroment art yang dipersembahkan berupa kontruksi-kontruksi yang dirakit dari tanaman jenis perdu. Sebut saja Lantana Camara atau lebih dikenal dengan tembelekan. Tembelekan termasuk jenis perdu dan mempunyai sifat batang yang lentur. Ditambah lagi tanaman ini mudah dikembangbiakan dimana dia mampu tumbuh meskipun tanpa akar dan daun (Stek batang). Tanaman ini tidak sulit diperoleh karena tumbuh banyak di kawasan hutan daerah Kecamatan Panggang. Pemanfaatan tembelekan selama digunakan sebagai rencek kayu bakar ada pula dijadikan tanaman pagar. Keberadaan enviroment art tidak lepas dari keterlibatan peran seniman Yogyakarta. Mereka mampu melihat nilai estetik pada tanaman perdu tersebut. Sehingga terciptalah sketsa-sketsa kontruksi enviroment art yang sekarang tersaji di watu payung. Adapun tema kontruksi enviroment art diangkat dari cerita masyarakat setempat. Konon katanya kawasan watu payung dari dasar laut yang terangkat. Beberapa kontruksi yang dirakit berupa kapal, menara, gerbang, karang, dan wujud binatang laut. Tingginya antusias pengunjung yang datang mendatangkan income yang sebanding dengan kerja keras pembangunan wisata watu payung. Retribusi yang dipungut tergolong terjangkau sekali. Pengunjung hanya perlu mengeluarkan nominal Rp. 3000,- untuk parkir motor. Baik kelompok HKm, KPH Yogyakarta, seniman, desa setempat dan beberapa pihak lain bekerjasama dan turut saling mendukung hingga wisata payung sudah dikenal luas. Semua dilakukan dengan tujuan membantu meningkatkan sosial ekonomi masyarakat setempat dengan tetap menjaga alam sekitar.
Inisiasi pembangunan wisata alam watu payung tergerak dari suksesnya wisata alam Mangunan yang terletak di kawasan Hutan RPH Mangunan BDH Kulonprogo Bantul KPH Yogyakarta. HKm Sidomulyo III mengajukan untuk mengelola watu payung menjadi wisata alam yang mana memiliki lanskap alam yang sangat potensial dikembangkan. Balai KPH Yogyakarta sebagai pengawas HKm melakukan pendampingi, pengarahkan dan memfasilitasi berjalannya pengembangan watu payung. Pembangunan wisata watu payung harus melewati proses yang disesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Luas kawasan hutan yang boleh dimanfaatkan sebagai wisata alam hanya 10% dari luas HKm. Sehingga dari 17,4 Ha luas HKm hanya 1,7 Ha yang boleh dimanfaatkan untuk wisata. Sarana dan prasarana penunjang wisata juga dibatasi hanya boleh 10% dari luas yang boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu, luas sarpras yang boleh dibangun maksimal hanya 0,17 Ha. Penyediaan sarpras tentu saja tidak dipebolehkan menggunakan material permanen melainkan material alami (P.22/Menhut-II/2012).
Lanskap alam yang ada di wisata watu payung sangatlah elok. Pengunjung dapat menikmati keindahan lekukan bukit, tatanan tebing, dan alur sungai oyo. Panorama watu payung juga menawarkan indahnya sunrise dan sunset yang tidak patut untuk dilewatkan. Saat menyambut fajar, hamparan tebing dan bukit ditutupi oleh kabut sehingga kita dapat merasakan negeri diatas awan. Untuk menambah kesan seni alam yang kuat, watu payung dilengkapi dengan beberapa enviroment art. Enviroment art yang dipersembahkan berupa kontruksi-kontruksi yang dirakit dari tanaman jenis perdu. Sebut saja Lantana Camara atau lebih dikenal dengan tembelekan. Tembelekan termasuk jenis perdu dan mempunyai sifat batang yang lentur. Ditambah lagi tanaman ini mudah dikembangbiakan dimana dia mampu tumbuh meskipun tanpa akar dan daun (Stek batang). Tanaman ini tidak sulit diperoleh karena tumbuh banyak di kawasan hutan daerah Kecamatan Panggang. Pemanfaatan tembelekan selama digunakan sebagai rencek kayu bakar ada pula dijadikan tanaman pagar. Keberadaan enviroment art tidak lepas dari keterlibatan peran seniman Yogyakarta. Mereka mampu melihat nilai estetik pada tanaman perdu tersebut. Sehingga terciptalah sketsa-sketsa kontruksi enviroment art yang sekarang tersaji di watu payung. Adapun tema kontruksi enviroment art diangkat dari cerita masyarakat setempat. Konon katanya kawasan watu payung dari dasar laut yang terangkat. Beberapa kontruksi yang dirakit berupa kapal, menara, gerbang, karang, dan wujud binatang laut. Tingginya antusias pengunjung yang datang mendatangkan income yang sebanding dengan kerja keras pembangunan wisata watu payung. Retribusi yang dipungut tergolong terjangkau sekali. Pengunjung hanya perlu mengeluarkan nominal Rp. 3000,- untuk parkir motor. Baik kelompok HKm, KPH Yogyakarta, seniman, desa setempat dan beberapa pihak lain bekerjasama dan turut saling mendukung hingga wisata payung sudah dikenal luas. Semua dilakukan dengan tujuan membantu meningkatkan sosial ekonomi masyarakat setempat dengan tetap menjaga alam sekitar.
Gambar 1. Lanskap Alam Watu Payung (siang hari)
Gambar 2. Tembelekan (Lantana Camara)
sumber: https://gumukpasir.com/lantana-bunga-liar-goa-cemara/
Gambar 3. Enviroment Art (hewan laut)
Gamabr 4. Enviroment art (Kapal)
Gambar 5. Enviroment Art (Menara)
Gambar 6. Enviroment Art (Karang / bunga )
Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
BalasHapushanya di D*E*W*A*P*K / pin bb D87604A1
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)