Senin 26 November 2018, pagi itu saya diberikan tugas oleh atasan untuk mengumpulkan beberapa sample produk HHBK (hasil hutan bukan kayu) dalam rangka sebagai produk yang akan di pamerkan di acara Anniversary Workshop For Forest Business. Adapun produk HHBKtersebut yaitu kopi, teh, virgin coconut oil, gula semut, dan cokelat. Yang paling menarik adalah saat saya mengunjungi industri rumah tangga yang memproduksi cacao (cokelat). Cacao dikelola oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) bernama Pawon Gendis yang berlokasi di Salak Malang, Banjarharjo, Kalibawangm Kulon Progo, Yogyakarta. Berada di rumah kayu yang sangat etnis jawa, saya beserta Ka.Balai BSPMBPTKP dan seorang penyuluh bertemu dengan Mba Tutik selaku ketua KWT Pawon Gendis. KWT Pawon Gendis mendapatkan pendampingan dan bantuan dari Dinas Perkebunan dan kehutanan Yogyakarta dalam mengembangakan produk olahan cacao. Menurut penuturan mba tutik, produk yang dikembangkan dari KWT Pawon Gendis tidak hanya cacao tetapi juga pegagan.
Pegagan atau Centella asiatica merupakan tanaman liar yang banyak tumbuh di daerah perkebunan, pematang sawah, dan tepi jalan. Pegangan mudah tumbuh di daerah yang teduh dan lembab oleh karenanya tanaman tersebut banyak di temukan di daerah Kulonprogo. Bukan hanya sebagai tanaman liar, pegangan dipercaya bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Manfaat utama dari pegagan mampu meningkatkan fungsi kognitif otak. Pengolahan pegagan menghasilkan produk keripik, varian dalam produk cacao, dan dimanfaatkan sebagai campuran masakan untuk memambah gizi pada sajian makanan.
Cacao atau Theobroma cacao merupakan tumbuhan yang menghasilkan biji cacao untuk selanjutnya dikenal sebagai cacao (cokelat) yang dapat diturunkan menjadi berbagai jenis olahan makanan. Biji cacao yang diolah oleh KWT Pawon Gendis berasal dari petani cacao daerah Kalibawang. Dengan mengambil biji kakao dari petani sekitar dapat membantu kelestarian pertanian cacao di Kabupaten Kulon Progo. Dalam proses jual beli cacao, mba tutik berani membeli biji dengan harga yang lebih tinggi dari pasaran yaitu Rp 3.500/ kg. Adapun biji yang dibeli harus memenuhi standart kualitas yakni biji telah terfermentasi dan mutu biji baik. Fermentasi atau isolasi biji kakao dilakukan dengan menutup biji di tempat gelap dalam kurun waktu 6 hari. Biji yang telah terfermentasi mempunyai daya tahan simpan lebih lama, aroma cacao lebih kuat, dan mencegah timbulnya jamur. Biji fermentasi kemudian diseleksi berdasarkan mutunya. Biji yang bermutu baik berciri jika dipecah daging biji berwarna cokelat, tekstur daging padat dan terdapat ruang rongga. Jika dirasa daging biji tidak terlalu pahit dan rasa cokelat sangat kuat. Ada juga yang di sebut dengan dark coklat. Dark cokelat sangat familiat di kalangan olehan cokelat dengan ciri khas rasa pahit yang kuat. Di dalam mutu biji, dark coklat sebenarnya masuk dalam mutu tidak baik. Dark coklat dikelola sedemikian rupa marketingnya sehingga nilai jual nya meningkat.
KWT Pawon Gendhis sudah cukup menjangkau pasar cokelat di Kabupaten Kulon Progo. Media promosi yang digunakan sudah berbasis sosial media. Selain itu mereka juga menjalin kerjasama dengan komunitas-komunitas lokal seperti komunitas seni, komunitas travel, dan komuni Event Organizer (EO). KWT Pawon Gendhis menjadi contoh dari kelompok masyarakat yang telah mengaplikasikan konsep pengembangan hasil alam tanaman perkebunan. Dampak ekonomi jelas terlihat dari meningkatnya pendapatan anggota kelompok, meningkatnya pendapatan bagi petani kakao, kunjungan studi cacao ke Kabupaten Kulon Progo. Dampak sosial terlihat dari adanya tambahan lapangan pekerjaan bagi anggota kelompok yang sebelumnya adalah ibu rumah tangga dan petani, membuka akses bagi masyarakat lain untuk ikut menggeluti usaha yang telah dijalankan KWT Pawon Gendhis (misalnya meningkatnya pemproduksi olahan dari pegagan). Dampak ekologi jelas membantu kelestarian tanaman cacao dimana semakin luas pasaran produksi olahan cacao berarti tanaman cacao yang dibudidayakan akan semakin banyak pula.
Continue reading Kelompok Cokelat Pawon Gendhis Kulon Progo Yogyakarta